Kegiatan Suku Baduy / Orang Kanekes |
Orang Baduy/ Suku Badui adalah
suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga
8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari
dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy
dalam.
Sebutan "Baduy" merupakan
sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut,
berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka
dengan kelompok Arab Badawi yang
merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah
karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari
wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang
Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka,
atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo(Garna,
1993).
Konon pada sekitar abad ke
XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan yakni dari
Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu yang menjadi
Rajanya adalah Prabu Bramaiya Maisatandraman dengan gelar Prabu Siliwangi.
Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang
dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo
dalam hal ini adalah Sunan Gunung Jati dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara
sampai ke selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan
rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja
beserta senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan keraan masuk
hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan
tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku
Baduy “ Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir
dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan
kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih
keneh sa wangatua” Artinya : “jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug
),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung,
lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun
keluarga yang masih satu turunan.
Suku Baduy berasal dari
daerah di wilayah Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak umumnya sewilayah Banten
maka suku Baduy berasal dari 3 tempat sehingga baik dari cara berpakaian,
penampilan serta sifatnyapun sangat berbeda Sebutan bagi suku Baduy
terdiri dari
- Suku Baduy Dalam yang artinya suku Baduy yang berdomisili di Tiga Tangtu (Kepuunan) yakni Cibeo, Cikeusik dan Cikertawana.
- Suku Baduy Panamping artinya suku Baduy yang bedomisili di luar Tangtu yang menempati di 27 kampung di desa Kanekes yang masih terikatoleh Hukum adat dibawah pimpinan Puuun (kepala adat).
- Suku Baduy Muslim yaitu suku Baduy yang telah dimukimkan dan telah mengikuti ajaran agama Islam dan prilakunya telah mulai mengikuti masyarakat luar serta sudah tidak mengikuti Hukum adat.
Sebagaimana yang
telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat
Kanekes adalah bertani padi huma.
Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dihutan seperti buah durian dan asam keranji, serta madu hutan.
Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dihutan seperti buah durian dan asam keranji, serta madu hutan.
Masyarakat Baduy dibedakan
menjadi 2 kelompok, yaitu Baduy dalam dan Baduy luar.
Pada dasarnya pakaian adat yang dikenakan oleh keduanya sama, hanya saja pakaian yang dikenakan oleh suku Baduy Dalam berwarna putih sebagai perlambang kesucian, sementara pakaian yang dikenakan suku Baduy Luar berwarna hitam. Untuk memenuhi kebutuhan sandangnya masyarakat suku Baduy melakukan penanaman biji kapas, memanen, memintal, dan menenun sendiri kain yang digunakan sebagai bahan pakaian.
Pada dasarnya pakaian adat yang dikenakan oleh keduanya sama, hanya saja pakaian yang dikenakan oleh suku Baduy Dalam berwarna putih sebagai perlambang kesucian, sementara pakaian yang dikenakan suku Baduy Luar berwarna hitam. Untuk memenuhi kebutuhan sandangnya masyarakat suku Baduy melakukan penanaman biji kapas, memanen, memintal, dan menenun sendiri kain yang digunakan sebagai bahan pakaian.
Pakaian adat Suku Banten Dalam (Sumber : http://rrizkyyudd.wordpress.com/) |
Pakaian adat Suku Banten Dalam (Sumber : http://sukubaduydalam2.blogspot.com/) |
Penggunaan
baju sangsang ini dipadukan dengan kain sarung berwarna biru kehitaman, yang
hanya dililitkan pada bagian pinggang dan diikat dengan selembar kain agar
tidak terlepas. Ciri khas yang terdapat pada pakaian adat Baduy Dalam adalah
penggunaan ikat kepala berwarna putih yang berfunggsi untuk menutup rambut
mereka yang panjang. Pemilihan warna putih pada pakaian adat suku Baduy Dalam
mengandung makna bahwa kehidupan mereka masih suci dan belum terpengaruh budaya
luar.
Pakaian Suku Baduy Luar (Sumber : http://www.griyawisata.com/) |
Bagi masyarakat Baduy pakaian tidak hanya berfungsi melindungi tubuh saja, melainkan sebagai identitas budaya. Tidak heran jika hanya dengan melihat model, potongan dan cara berbusananya saja, secara sepintas orang akan tahu bahwa itu adalah suku Baduy. Mereka mempercayai bahwa pakaian diwariskan oleh nenek moyang mereka untuk dijaga.
Berikut adalah acara di salah satu Tv Swasta Indonesia yang menayangkan tentang kebudayaan Suku Baduy (Orang Kanekes)
Indonesia Itu Indah Bukan? :)